#1DLS "Your
Smile" Part 12
created
by @DyahAnindes
enjoy reading ;)
-----------------------------------------------------
Darlee memiringkan
senyumnya. Pikiran jahil lagi-lagi terlintas. Ia tahu bahwa Zayn adalah orang
paling narsis sepanjang masa yang pernah ia ketahui. Kita lihat saja, apakah
Zayn mampu menjawab tantangan dari Darlee. “Katakan kalimat ini sama persis dengan
yang kuucapkan!”
“Apa itu?” tanya Zayn penasaran.
“Katakan ‘Di antara The Boys akulah yang paling jelek’ di depan kaca!”
DING! Kalimat yang mengenaskan itu baru saja hampir merobek daun telinga Zayn. Tawa meriah lagi-lagi menggelegar di ruangan itu.
“Tantangan yang bagus, Darlee!” sahut Harry. Darlee masih meneruskan kikikannya.
“Wait, aku akan mengambilkan kacanya!” ujar Louis tiba-tiba lalu langsung beranjak entah kemana. Dan tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa cermin kecil berbentuk ovale yang mempunyai pegangan di bawahnya. “Gunakan cermin ini!” seru Louis sembari menyodorkan cermin itu di hadapan wajah Zayn.
Itu adalah cermin kesayangan Zayn, tempat di mana ia selalu memuji dirinya sendiri ketika cermin itu menampakkan wajahnya. Karena setiap kali Zayn bercermin, Ia sama sekali tidak pernah menemukan sisi jelek di wajahnya. Menurutnya, dirinya sangat tampan melebihi siapa pun! Walaupun pada kenyataannya, ya, dia memang tampan. Zayn mulai memandang wajahnya yang tertera mulus di cermin kecil itu. Yang benar saja wajah serupawan sepertiku ini harus aku katai jelek! gerutu Zayn dalam hati. Berat sekali mengatakan satu kalimat yang tak panjang namun mengenaskan itu. Semua di ruangan itu sedang menahan tawa mereka. Sedangkan Zayn, seolah sedang tertimpa batu besar dan silit untuk melepaskan diri. “Di antara The Boys…” ia mulai mengatakan kalimat itu. Lengkungan ke atas sempurna terukir di bibir Zayn. Mengundang semuanya untuk merasakan kembali kegelian pada perut mereka. Zayn seperti sedang menahan tangis! Sangat tidak bisa dipercaya ternyata tantangan ini berat sekali. Sang pemberi tantangan malah terlihat bahagia melihat penderitaan pria asal Bradford ini. “Darlee, kamu benar-benar menyiksaku!” seru Zayn.
“I’m sorry Zayn, but that’s a challenge!” jawab Darlee menjulurkan lidahnya setelah selesai mengucap.
Zayn menarik napas dalam. Dan mengeluarkannya sangat berat, berat sekali. “Di antara The Boys akulah yang paling jelek.” Akhirnya kalimat itu terucap juga. Walaupun terdengar sangat tidak ikhlas. Tapi, tantangan sudah terlaksana.
“Akirnya, Zayn mengakui juga. Ha ha ha!” sang raja konyol mulai meledek.
“No, no, no! Ini hanya sebuah tantangan kan? Jadi aku masih yang tersexy di dunia ini!”
tukas Zayn tanpa dosa
sambil mendongakkan kepalanya, angkuh. Mengundang gelak tawa yang kembali
pecah. “Nah, sekarang sepertinya aku tidak usah memutar botol lagi.” kata Zayn.
“Kenapa? Kau mau menyudahinya?” tanya Niall.
“Tidak-tidak, bukan begitu. Kalian tahu kan siapa di sini satu orang yang belum mendapat tantangan sama sekali. Kita berikan saja langsung padanya!” jawab Zayn melirik ke arah Krichel.
Merasa di tunjuk, Krichel langsung berkata, “Baiklah, baiklah. Menurutku itu cukup adil.” sahut Krichel memutar bola matanya.
“Ha ha, OK, jadi Truth or Dare?” tanya Zayn.
“Aku lebih baik memilih Truth.” jawab Krichel malas.
“Pertanyaannya adalah…” Zayn memutar otaknya. Lalu ia menemukan pertanyaan itu. “Jika salah satu dari kita bisa menjadi pacarmu, siapa yang kamu pilih?”
Krichel membulatkan matanya. What?! Pertanyaan macam apa itu? Well, memang sudah jelas sekali jawabannya. Tapi, sungguh, akan terasa sangat berat jika mengatakan sesuatu yang benar tetapi tidak ada yang tahu bahwa dibalik jawabannya itu benar-benar ada fakta yang bersifat sangat ‘Benar’. Krichel masih tidak mengatakan apa-apa. Sementara yang lain menunggu jawaban darinya. Dan di balik balutan tulang-tulang dada kedua orang di antara mereka, sedang mengembang dan mengempis sangat cepat. Berharap nama merekalah yang keluar dari bibir tipis Krichel. Namun, menjawab pertanyaan ini, sama saja seperti mengumbar harapan terdalam Krichel kepada makhluk-makhluk yang menatap dirinya saat ini. Ia bisa saja berbohong untuk menyebutkan namanya. Tapi, berbohong adalah hal yang paling dibeci oleh Krichel. Sekalipun ia sendiri yang melakukannya. Krichel adalah orang yang sangat jujur. “Hmm..” Krichel pura-pura berpikir keras sambil mengetuk-ngetukkan dagunya dengan telunjuk. “Liam.”
Yang namanya disebut langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tapi, secercah senyum mengembang di baliknya. Hatinya mulai dikeluti sebuah harapan yang semakin besar untuk bisa menjadikannya kenyataan. Sedangkan satu orang lainnya merasa ada kecelakaan mengenaskan yang menyedihkan sedang terjadi di dalam lubuk hatinya. Sakit. Sesak. Remuk. Dan, patah. Tapi, belum hancur. Karena ia tahu masih ada yang bisa ia lakukan untuk membuktikan bahwa pilihan gadis ini salah. Dirinyalah yang tepat.
“Dengar itu? Niall, secara tidak langsung, kau telah di tolak! Ha ha ha ha!” seru Louis mengeluarkan gelak tawa yang juga di ikuti oleh semua penghuni ruangan. Niall tahu itu adalah sebuah lelucon. Ya, lelucon paling menyakitkan yang pernah di tangkap oleh kedua telinganya. Tapi, Niall berusaha tertawa juga seolah hatinya sama sekali dalam keadaan baik-baik saja. Zayn bisa menangkap ekspresi Niall itu. Karena, ia tahu yang sebenarnya.
Karena mereka semua sudah mendapatkan tantangan, jadi mereka memutuskan untuk menyudahi permainan ini. Krichel bernapas lega. Akhirnya permainan terkutuk ini tidak membunuhku. Pekiknya dalam hati. Para lelaki di ruangan itu langsung membentuk ruang TV menjadi seperti semula. Menggeser semua barang untuk berpijak ke tempat awal. Setelah itu, mereka semua duduk di sofa dan menyenderkan punggung mereka. Seolah seperti sudah melakukan pekerjaan yang menguras banyak tenaga.
*******
Percakapan yang kian semarak dengan gelak tawa itu masih berlanjut sampai saat ini. Sudah pukul delapan malam, tapi tidak seorang pun yang menyadarinya. Mereka semua tenggelam dalam suasana hangat dan menyenangkan itu. Seolah tidak mempedulikan waktu yang terus berputar dan tak akan pernah bisa berhenti. Liam dan Krichel duduk bersampingan dan sama-sama hanyut dalam percakapan. Hingga akhirnya Liam menggenggam tangan kanan Krichel dan membisikkannya sesuatu.
“Ayo ikut aku.” seru Liam tepat di telinga Krichel.
Krichel menatap Liam dengan tatapan pertanyaan yang rasanya harus segera dijawab.
“Kemana?”
Liam tidak menjawab pertanyaan itu. Ia segera menarik tangan Krichel dan mengajaknya pergi keluar ruangan yang sedang ramai dengan kata-kata dari setiap penghuni disitu. Tidak ada yang menyadari kepergian Liam dan Krichel. Tapi, memang itu yang diharapkan Liam sebenarnya. Mereka sudah berada di koridor dan sedang menyusurinya. Sampai akhirnya mereka berhenti di depan pintu berwarna silver yang masih tertutup, menunggu sebuah kotak besar yang berisi manusia itu berhenti di hadapan mereka. Ketika kedua belah sisi pintu itu tebuka, mereka masuk dan bergabung dengan segelintir orang yang ingin mencapai lantai yang mereka tuju. Liam menekan angka 11 pada tombol yang bila ditekan menjadi warna merah itu. Liam ingin mengajakku ke lantai paling atas? Untuk apa? Dua pertanyaan di benak Krichel.
“Liam, sebenarnya kita mau kemana?” Tanya Krichel yang tidak bisa menahan lagi rasa penasarannya.
Liam menoleh ke samping kanannya dengan sedikit menunduk melihat seorang wanita yang memang lebih pendek darinya. “Aku akan menunjukkan sesuatu.” jawabnya kemudian.
Lagi? Setelah pantai seindah surga itu, ia mau menunjukkan apalagi? Benak Krichel kembali bertanya. Kotak besar itu akhirnya berhenti. Pintu lift akhirnya terbuka dan mereka berdua pun bergegas keluar dari sana. Liam masih menggenggam erat tangan Krichel sejak keluar ruang 14 tadi. Kini, Liam dan Krichel berbelok ke kiri setelah keluar dari lift. Mereka sudah sampai pada lantai paling atas di apartement megah ini. Liam terus memandu Krichel sampai akhirnya mengajak Krichel masuk ke dalam ruangan yang gelap. Gelap sekali dan tidak ada cahaya sepercik pun. Krichel mulai merasa takut, karena sejujurnya ia tidak terlalu menyukai kegelapan. Tapi, tak lama Liam menekan tombol putih dan sekejap satu buag lampu neon di tengah-tengah ruangan itu menyala. Tempat apa itu? Sangat berantakan dan kotor. Terlihat seperti sebuah… gudang?
“Liam, kenapa kamu mengajakku ke sini?” Krichel kembali bertanya dengan pikiran aneh yang mulai menjalar di otaknya.
“Bukan ruangan ini tujuanku. Tenang saja.” jawab Liam dengan menyunggingkan seulas senyum. Seolah akan memberikan kepercayaan kepada Krichel bahwa dirinya tidak akan macam-macam. Dan benar saja, Krichel langsung luluh dengan senyuman itu dan kembali mengikuti jejak langkah Liam yang masih berjalan.
Mereka berhenti di depan tangga besi berwarna hitam yang menggantung di pinggiran tembok. Krichel menatap ke atas, ke ujung dari tangga itu. Ternyata tangga itu berujung pada sebuah pintu kotak berukuran kecil yang kira-kira hanya muat di masuki oleh satu orang saja. Jarak ujung bawah tangga ini lumayan jauh dengan lantai. Liam menggeret kursi dan meletakkannya di bawah anak tangga itu dengan tujuan akan mempermudah untuk menaiki tangga.
“Aku akan naik ke atas. Dan ketika aku memberi isyarat, kamu juga naik ya!” ujar Liam.
Krichel sebenarnya
tidak mengerti sama sekali apa tujuan mereka pergi ke atas sana. Tapi, Krichel
mengangguk, ia ingin tahu apa yang ada di atas sana.
Liam menaiki satu per satu batangan-batangan besi hitam itu sampai akhirnya berada tepat di bawah pintu yang juga dari besi itu. Liam membuka pintunya dan terus melangkah sampai dirinya sudah berada di ruangan lain. Liam menundukkan kepalanya dan melihat gadis yang berada di bawah dengan wajah bingungnya. Liam mengisyaratkan Krichel untuk naik. Dengan ragu, Krichel mulai menaikkan kakinya ke atas kursi dan dilanjutkan dengan batang-batang besi hitam itu. Untung saja Krichel menggunakan flat shoes, jadi ia bisa dengan mudah menaiki tangganya. Di atas sana, Liam mengulurkan tangannya untuk membantu Krichel mencapai puncak. Dan tak lama, Krichel sudah berada satu pijakan dengan Liam.
Krichel memutarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang tidak berwujud seperti ruangan itu. Ia tidak bisa melihat jelas sedang ada di mana mereka sebenarnya. Karena gelapnya malam dan tidak tersedianya cahaya di sana. Tapi Krichel menyadari satu hal, di atas kepalanya, tebentang benda-benda langit yang berkelap-kelip seperti intan permata.
Liam menaiki satu per satu batangan-batangan besi hitam itu sampai akhirnya berada tepat di bawah pintu yang juga dari besi itu. Liam membuka pintunya dan terus melangkah sampai dirinya sudah berada di ruangan lain. Liam menundukkan kepalanya dan melihat gadis yang berada di bawah dengan wajah bingungnya. Liam mengisyaratkan Krichel untuk naik. Dengan ragu, Krichel mulai menaikkan kakinya ke atas kursi dan dilanjutkan dengan batang-batang besi hitam itu. Untung saja Krichel menggunakan flat shoes, jadi ia bisa dengan mudah menaiki tangganya. Di atas sana, Liam mengulurkan tangannya untuk membantu Krichel mencapai puncak. Dan tak lama, Krichel sudah berada satu pijakan dengan Liam.
Krichel memutarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang tidak berwujud seperti ruangan itu. Ia tidak bisa melihat jelas sedang ada di mana mereka sebenarnya. Karena gelapnya malam dan tidak tersedianya cahaya di sana. Tapi Krichel menyadari satu hal, di atas kepalanya, tebentang benda-benda langit yang berkelap-kelip seperti intan permata.
“Close your eyes.” seru Liam yang sedang berada tepat di belakang tubuh Krichel, berbisik di telinga gadis itu.
Krichel dapat merasakan hembusan hangat napas dari rongga mulut Liam yang mencairkan darahnya dan mempercepat kerja jantungnya. “Why?”
“Just do it.” kata-kata yang terucap sangat lembut itu mampu membutakan Krichel. Krichel menuruti Liam dan menutup matanya. Dan kemudian Krichel merasakan sentuhan hangat di kedua kelopak matanya. Liam meletakkan telapak tangannya di sana. Untuk memastikan bahwa Krichel tidak akan melihat apa-apa sebelum sesuatu itu sudah di hadapannya.
Liam menuntun Krichel untuk melangkah ke depan. Perlahan tapi pasti, langkah-langkah itu mereka jalani. Beberapa langkah mereka ambil, lalu Liam menghentikannya.
“Ketika aku sudah melepaskan tanganku, buka matamu.” Liam kembali berbisik dan Krichel kembali mengangguk. “Hitungan ketiga.” sambung Liam.
Krichel merasakan debaran yang begitu dahsyat di dalam rongga dada kirinya. Menerka-nerka apa yang akan ia lihat setelah membuka matanya nanti. “Satu..” Liam mulai menghitung. “..dua,..tiga.” Liam melepaskan telapak tangannya dari kedua kelopak mata Krichel. Krichel perlahan membuka matanya. Senyuman yang sedikit membuka mulutnya itu tergambar jelas di wajahnya. Perasaan takjub kembali dirasakan oleh Krichel. Sekarang di hadapannya tertera lukisan indah yang sangat besar. Sebesar kota Los Angeles ini. Karena memang itulah yang dilihatnya, pemandangan malam hari di kota LA. Beraneka ragam warna dari lampu-lampu bersinar indah bagaikan lautan cahaya di kegelapan. Terang saja, kota besar pusat perbisnisan ini, mempunyai ribuan gedung menjulang tinggi. Yang sekarang, memancarkan butiran-butiran cahayan lampu. Cantik sekali. Bercakan cahaya berjalan juga nampak banyak terpancar dari sinar kendaraan yang berlalu lalang. Mungkin ini adalah pemandangan biasa yang dilihat pada malam hari. Krichel juga pernah melihat keadaan kota Jakarta pada malam hari pada ketiggian. Tapi entah mengapa, pemandangan ini jauh dirasa lebih indah dari itu. Mungkin karena kota LA yang lebih besar dan biasan-biasan cahaya yang lebih banyak juga. Entahlah, atau mungkin karena Krichel melihat pemandangan ini bersama seseorang yang special?
“Indah, bukan?” ucap Liam yang sekarang berada tepat di sebelah kiri Krichel, mengenggam tangannya.
“Sangat!” jawab Krichel tanpa mengalihkan pandangannya yang lurus ke depan.
“Tapi kamu jauh lebih indah dari ini.”
Krichel hampir saja meledakkan bom atom di jantungnya. Dan ia hampir saja mati lemas mendengar pujian yang tak lazim ia dengar itu. Krichel sontak menoleh ke arah Liam. Menatap wajahnya yang menawan disetiap keadaan.
“Kamu tahu?” ucap Liam. Krichel semakin memperdalam tatapannya. Mencoba menebak kalimat apa yang akan Liam keluarkan. “Aku senang kamu menyebutkan namaku dipertanyaan terakhir pada permainan tadi.” lanjut Liam, menoleh pada Krichel, menatap mata gelapnya.
Lagi. Krichel merasakan detakan tidak normal pada jantungnya lagi dan lagi. Mereka saling menatap saat ini. “Kenapa?” pertanyaan yang keluar dari bibir Krichel.
“Suatu saat, kamu pasti akan mengetahuinya.”
Mengapa? Mengapa aku selalu tidak berdaya saat berada di dekatnya? Jantungku selalu berkerja lebih keras setiap ia melontarkan kalimat yang mampu membuat aku terbang tanpa sayap. Mengapa ia selalu membuatku tersanjung? Membuatku semakin mendalami perasaan ini. Mengapa ia selalu menunjukkan sesuatu yang indah tepat setelah aku menyadari perasaan apa ini? Aku ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan pernyataanku, bahwa ia memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi aku takut. Takut kembali jatuh dalam perasaan kecewa. Aku tidak mau ‘lagi’ mengalami kekecewaan. Kalimat-kalimat itu terucap lirih dalam benak Krichel.
Angin malam melewati mereka berdua dan menyentuh lembut lapisan kulit terluarnya. Liam dan Krichel masih tenggelam dalam tatapan. Sampai akhirnya, Liam menjatuhkan seluruh tubuh Krichel dalam dekapannya. Krichel tercengang, terkejut atas perlakuan Liam ini. Pipi kanan Krichel menempel erat pada dada bidang Liam. Kedua tangan Liam mengusap lebut punggung Krichel. Nyaman. Nyaman sekali berada dalam keadaan seperti ini. Ya Tuhan, bisakah Kau hentikan waktu pada saat ini? Saat ini saja. Aku tidak mau lepas darinya. Ingin selalu dekat dengannya seperti ini.
Liam meletakkan dagunya pada puncak kepala Krichel. “Sebaiknya kita segera turun sebelum kamu jatuh sakit karena dinginnya angin malam.” ucapnya. Masih mendekap gadis mungil itu.
Tidak! Aku tidak mau mengakhiri moment bahagia ini. Bahkan jika aku sakit pun, aku tidak peduli asalkan Liam masih mendekapku seperti ini. Tapi, tidak mungkin Krichel mengatakan itu. Ia hanya bisa dan mampu mengatakannya dalam hati. Krichel mengangguk dalam pelukan Liam. “Hm, Liam..” ucap Krichel sebelum Liam sempat melepas dekapannya.
“Ya?” sahut Liam.
“Terimakasih.”
Liam tersenyum. Walaupun Krichel tidak melihatnya, namun ia merasakan pergerakan dari bibir Liam yang membentuk senyuman itu. “Sama-sama.” ujar Liam. Lalu ia melepaskan pelukan hangatnya, dan membawa Krichel kembali ke dalam ruangan yang masih di penuhi keceriaan itu.
***********
“Hey, kalian berdua dari mana saja?” pertanyaan itu langsung diajukan oleh Louis setelah Liam dan Krichel masuk ke dalam ruangan.
“Benar! Krichel, sekarang sudah semakin larut sebaiknya kita pulang.” sambar Darlee bahkan sebelum Liam atau Krichel sempat menjawab pertanyaan Louis.
Krichel melirik arloji putih yang melingkar pada pergelangan tangannya. Sudah pukul 9 PM.
“Benar juga. Boys,
sepertinya kita berdua harus segera pulang.” ucap Krichel.
“Biar aku antar.” seru Niall bangkit dari duduknya.
“Tidak perlu, Niall. Aku dan Darlee bisa naik taxi.” sahut Krichel yang disertai anggukan oleh Darlee.
“Tidak boleh ada penolakan.” ucap Niall dengan nada yang dibuat-buat. Krichel, Darlee dan yang lainnya hanya tertawa mendengar itu.
Krichel meraih tasnya yang tergeletak di sofa tempat ia duduk tadi. Sedangkan Darlee memang sudah bersiap ingin pulang sejak sebelum Krichel dan Liam kembali ke ruangan.
“OK, guys, aku rasa kita harus pulang sekarang. Aku harap kita bisa bertemu lagi.” seru Darlee.
“Itu pasti.” sahut Zayn.
“Tenang saja, kita pasti bertemu lagi.” sambung Harry. Darlee tersenyum mendengar jawaban itu. Mungkin saat ini, ia memang sudah memiliki perasaan pada Harry.
“Hati-hati ya, kalian!” seru Louis.
“OK!” jawab Krichel dan Darlee bersamaan.
Setelah itu, Niall, Darlee dan Krichel beranjak keluar ruangan. Liam membukakan pintu untuk mereka.
“I’ll call you later.” ucap Liam berbisik saat Krichel berjalan melewatinya ketika ingin keluar dari ruangan. Krichel menoleh sejenak dan memasang seulas senyum lalu melanjutkan langkahnya. Liam terus menatap punggung Krichel yang kian menjauh sampai akhirnya hilang karena mereka bertiga memasuki lift. Lalu, Liam kembali menutup pintunya.
“Tadi kau dan Krichel pergi ke mana?” Tanya Zayn yang masih duduk di sofa.
“Suatu tempat yang membuatnya sangat senang.” jawab Liam lalu bergabung dengan Zayn, duduk di sampingnya.
“Di mana? Dan kenapa kau mengajaknya ke sana?” sambung Harry.
“Puncak apartement. Aku memperlihatkan kota ini dari atas sana.” tukas Liam. “Aku mengajaknya ke sana karena…” Liam menghentikan kata-katanya. Membuat senyuman lembut di kedua belah bibirnya sambil menundukkan kepala. Lalu sedikit terkekeh karena mengingat adegan romantic yang tadi baru saja terjadi. Saat kehangatan itu bersatu menjadi sebuah keharmonisan yang indah. Tubuh mungil Krichel masih terasa pada genggaman tangan Liam sekarang. Liam tidak akan melupakan pelukan berharga itu.
“Ya Tuhan! Liam, lihat dirimu! Kau seperti orang yang sedang jatuh cinta.” pernyataan tepat baru saja terucap dari bibir Louis.
“Sepertinya bukan ‘seperti’ lagi. Tapi memang benar. Ya kan, Liam?” sekarang Harry yang tepat menebak perasaan Liam.
“Astaga, kau mencintai Krichel?” pertanyaan serius dari Zayn terucap.
Liam masih terjaga dengan balutan senyumnya. Memandang wajah ketiga sahabatnya itu secara bergantian. Seolah mengatakan ‘kalian pintar sekali!’
“Liam?” suara Zayn, Harry dan Louis berpadu menjadi satu suara karena Liam masih belum menjawab dan hanya tersenyum seolah bibirnya tidak bisa berubah posisi lagi.
“Baiklah, baiklah. Ya, kalian semua benar. Aku jatuh cinta padanya.” lontaran jawaban dari Liam tersebut membuat Zayn, Harry dan Louis saling pandang, lalu kembali menatap sahabatnya yang sedang dimabuk cinta itu.
“Aku sudah menduganya! Ha ha ha!” seru Harry.
“Benarkah?” tanya Liam.
“Yap! Memang menurutmu mengapa aku menyuruhmu untuk menatap mata Krichel pada permainan tadi? Ha ha ha!” jawab Harry masih dengan tawa renyahnya. Liam juga ikut tertawa karena mengingat tantangan dari Harry yang ternyata Harry bermaksud untuk menjahilinya.
Zayn dan Louis ikut tertawa mendengar ucapan Harry tadi. Tapi ada sesuatu yang sangat mengganjal di hati Zayn. Sekarang dia mengetahui kenyataan bahwa kedua sahabatnya memiliki perasaan untuk gadis yang sama. Bagaimana ini? Pasti akan ada masalah yang terjadi jika Niall dan Liam mengetahui hal ini. Mereka mencintai gadis yang sama, yaitu Krichel. Persahabatan kami pasti akan sedikit terganggu. Dan itu sangat konyol jika penyebabnya adalah seorang wanita! Pikiran Zayn berkecamuk. Ia bimbang harus berbuat apa. Ia tidak tahu harus mendukung yang mana. Kedua orang itu adalah sahabatnya. Dan ia juga berpikir bahwa seorang gadis seperti Krichel, memang sangat dibutuhkan oleh Liam maupun Niall. Liam baru saja mengalami patah hati yang cukup membuat hidupnya berat untuk dijalani. Lalu Krichel datang dan membawa perubahan padanya sampai membuatnya jatuh cinta. Sedangkan Niall, Niall tidak pernah merasakan jatuh cinta sedalam ini setahu Zayn. Dan Niall juga tidak pernah berhasil dalam soal percintaan. Niall selalu saja disakiti oleh wanita pujaannya, tapi Zayn yakin Krichel bukan gadis yang seperti itu. Tanpa sadar, Zayn telah mengabaikan Louis yang memanggil namanya daritadi.
“Zayn!”
“W-What?” sahut Zayn pada akhirnya dan menoleh pada Louis.
“What’s wrong?” Tanya Louis.
Zayn mengitari pandangannya mencari sosok Liam yang ternyata sudah tidak ada di ruangan itu. Hanya ada ia, Harry, dan Louis. “Where’s Liam?”
“Dia sedang mandi, kenapa?” kali ini Harry yang menjawab.
“Psstt, I wanna tell you something that you must to know.” ujar Zayn sedikit berbisik dan memandang ke arah Louis dan Harry secara bergantian. Wajahnya sangat serius. Harry dan Louis juga menebak bahwa Zayn akan mengatakan hal yang serius.
“What is that?” Tanya Louis mendekat pada Zayn, begitu juga Harry.
Mereka bertiga sekarang duduk di sofa panjang yang bisa diduduki oleh tiga orang. Wajah mereka berdekatan karena Zayn yang menyuruhnya. Zayn tidak mau hal ini terdengar oleh Liam. Dan Untung saja Niall sedang tidak di sini.
“Dengar, mungkin ini adalah masalah yang cukup serius. Aku tidak sanggup jika memendamnya sendiri, jadi aku harus memberitahu kalian. Siapa tahu kalian tahu jalan keluarnya.” Zayn memulai penjelasan awalnya.
“Okay, tell us!” sahut Harry tanpa meninggikan intonasinya.
Zayn menghela napas sejenak. “Niall juga mencintai Krichel.”
“What?!”
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar